Mujarab, kawan kita yang satu itu, rupanya sedang tertimpa musibah yang amat memprihatinkan. Pasalnya, salah seorang saudaranya, Maghdubi, melakukan tindakan yang sangat tidak terpuji. Bejat, nista tidak keruan. Memang, ada cerita aneh tentang sejarah namanya. Maghdubi merupakan anak angkat dari sodara sepupu keponakan kakek dari ayahnya Mujarab. Tentang bagaimana penemuan Maghdubi bisa sampai ke tangan orang tua angkatnya, tidak ada yang tau ceritanya. Tapi yang jelas, orang tua angkatnya sangat berharap bahwa anak yang diangkatnya ini tidak dan bukan dari golongan orang yang dimurkai Allah, Ghoiril Maghdubi ‘Alaihim. Yah, karena satu dan lain hal, panggilannya jadi Maghdubi, dan sikapnya pun jadi patut dimurkai. Begitulah…
Maghdubi memiliki hasrat ingin cepat kaya, seperti siapapun. Namun, kadar “cepat” dan “kaya” yang dihasratkan sudah melewati batas kewajaran, sehingga membuat urat malunya putus. Terabas sana terobos sini, sampai akhirnya Maghdubi terlibat dalam mafia tingkat tinggi. Keterlibatannya dalam mafia yang selalu lepas dari jeratan hukum, membuatnya menyimpan banyak rahasia dan kebohongan. Semua keluarga kena ditipu Maghdubi, termasuk Mujarab. Mujarab lah yang paling merasa ditipu karena setiap Maghdubi curhat tentang masalah apapun, Mujarab lah yang selalu memberikan solusi paling mujarab. Meskipun, sebenarnya hal itu merupakan bagian dari siasat pencitraan baik dari Maghdubi.
Suatu saat, Maghdubi terlibat, bahkan menjadi otak skenario pembunuhan jaksa. Kasus yang ditangani jaksa tersebut tidaklah besar, tapi kalau sampai kebenaran kasus itu terungkap, maka akan berujung pada kasus-kasus lain yang lebih besar. Inilah yang ditakuti oleh Maghdubi, karena jika jaksa tersebut berhasil, maka keterlibatannya pada kasus-kasus yang lebih besar itu pasti terendus oleh aparat. Jika sudah begitu, hancurlah apa yang selama ini sudah dibangun Maghdubi di bawah tanah. Jadi Maghdubi merasa lebih tenang dengan menghapus keberadaan jaksa tersebut. Tapi tetap saja, Maghdubi tidak bisa menghapus keberadaan Yang Maha Melihat.
Sampailah cerita kita di pengadilan kasus pembunuhan jaksa itu. Mujarab ikut hadir melihat sodaranya, memberikan doa agar diberikan yang terbaik dan adil oleh Allah Yang Maha Adil. Saat pengadilan dimulai, dan tim hakim diperkenalkan kepada seluruh peserta sidang, Maghdubi tampaknya mengenali muka hakim ketua. Raut wajahnya menandakan kekesalan dan kebingungan, dan ini tidak luput dari pengamatan Mujarab. Saat rendez-vouz di tahanan polisi, Mujarab mempertanyakan tentang perubahan roman muka Maghdubi saat melihat tampang hakim ketua.
“Gua yakin betul hakim ketua itu terlibat, Rab…” kata Maghdubi.
“Terlibat pembunuhan, Bi??! Kenapa ngga dibilang ke polisi?” Mujarab bingung.
“Bukan pembunuhannya Rab, tapi gua yakin klo itu jaksa mati, hakim itu juga pasti lega. Kasus-kasus besar yang diincer sama jaksa itu, hakim ketua itu yang jadi mata-matanya Rab. Hakim ketua itu yang nyediain orang dalem.“
Mujarab makin bingung,
“Aduh, saya ngga ngerti Bi urusan-urusan kriminal. Tapi harusnya klo kamu tau yang begitu-begitu, kamu bisa dong seret dia ke pengadilan juga, kalo emang bener…“
Maghdubi nunduk, “Dia itu hakim Rab, dia ngerti hukum. Justru karena dia punya power buat maen-maenin hukum, dia kita sogok. Sekarang kejadiannya malah dia yang mimpin sidang gua. Udah pasti lah gua divonis salah, malah mungkin dihukum mati sekalian. Cocok banget kan gua yang jadi kambing hitam, nama dia tetep bersih Rab…“
“Yah, saya nggak punya solusi deh buat urusan kamu yang itu. Yang penting, kamu sekarang tau kalo pasti ada balasan untuk setiap perbuatan kan. Sesali aja apa yang kamu pernah lakukan, dan ngga usah berharap-harap ato nyusun-nyusun rencana gimana cara nyeret hakim ketua itu.” Untuk sekali ini, omongan Mujarab didengerin bener-bener sama Maghdubi, tidak seperti kemarin-kemarin.
Sampailah pada penghujung rangkaian persidangan, yaitu pembacaan vonis. Seperti sudah diprediksi oleh Maghdubi dan diketahui oleh Mujarab, hakim ketua memberikan hukuman terberat untuk kasus pembunuhan berencana, yaitu hukuman mati. Pengacara Maghdubi langsung keberatan dan beranjak mengajukan banding, tapi ditahan oleh Maghdubi. Maghdubi, yang sudah malang melintang di dunia mafia, sudah malas untuk melanjutkan perkara dengan mafia-mafia tersebut. Maghdubi sadar bahwa inilah konsekuensi tindakan kejinya selama ini. Hadirin sidang pun, termasuk beberapa keluarga Mujarab, menyambut baik keputusan hakim ini, berharap hukuman mati itu dapat memberikan efek jera dan takut kepada mafia-mafia lain. Gegap gempita mulai terdengar dari peserta sidang, terutama dari keluarga almarhum jaksa baik itu. Sebelum memutus secara sah keputusan itu, hakim ketua menanyakan adakah keberatan atau sanggahan dari terdakwa. “Allah lah Yang Maha Adil, bukan kau, hey hakim!!!“, hanya itu gumaman kecil yang diucapkan Maghdubi, dan hanya sanggup terdengar oleh pengacaranya.
Hakim ketua merasa sudah saatnya mensahkan keputusannya. Hakim membacakan kembali putusannya, “Terdakwa terbukti bersalah, dan divonis hukuman mati oleh pengadilan“, sambil menahan senyum. Karena hiruk pikuk terdengar makin santer, maka menurut hakim ketua, suara ketokan palu harus terdengar lebih kencang. Diayunnya palu hakim lebih tinggi dan lebih kencang dari biasanya. Tiga ketokan, menurut aturan.
*TOK*, satu…
“Kurang keras nih“, pikir hakim.
*TTOOKK*, dua…
“Hmm, kencengin lagi ah. Biar gua puas…“
*TTTOOOKK*krek…
Sepersekian detik, hanya sepersekian detik, setelah ketukan ketiga mensahkan hukuman mati Maghdubi, kepala palu hakim itu patah dan lepas dari gagangnya, terpental memantul ke arah sang hakim ketua, dan dengan manis menghantam ujung jidatnya. Karena ayunan terakhir diniatkan untuk berbunyi sekencang mungkin, maka kepala palu pun memiliki kecepatan yang sangat tinggi saat menyapa jidat hakim ketua. Karuan saja, otak sang hakim ketua yang saat itu sedang berdenyut kencang, akibat kegirangan karena merasa kasusnya akan aman dengan matinya Maghdubi, terkena SHOCK seketika, dan memutuskan untuk beristirahat sejenak. Sialnya lagi, gaya hidup yang kurang sehat membuat pembuluh darah yang ada didekat otak sang hakim ketua menjadi lemah, dan ikut terkena dampak shock tersebut, pecah burai.
Matilah hakim ketua itu ditempat, tepat setelah hakim itu mensahkan hukuman mati bagi Maghdubi. Hanya 2 orang yang tersenyum melihat kejadian itu. Maghdubi dan Mujarab…