Posted by: ichsandika | May 28, 2009

Champions…

Memang semalam saya tidak bisa menonton final Liga Champion antara Barcelona vs MU, karena firstmedia dikosan saya tidak menayangkan laga itu secara langsung. Selamat buat Barcelona karena berhasil menang mutlak dari MU 2-0. Jadi, MU dan Barcelona sama-sama treble, memang Allah Maha Adil…

Ada beberapa alasan orang menyukai sepakbola. Yang paling utama adalah dinamikanya yang sangat manusiawi. Kesalahan wasit dalam mengambil keputusan pun dapat ditolerir. Hampir tidak pernah ada keputusan wasit dilapangan yang dianulir, meskipun kesalahan wasit  sangat jelas, yang bahkan tim yang diuntungkan pun tahu bahwa keputusan wasit salah. Karena itulah, praktek diving masih kerap dilakukan oleh pemain, dan terkadang berhasil menipu wasit yang kurang awas. Meskipun seluruh lapangan tahu bahwa pemain tersebut diving, tapi kalo wasit bilang tidak, ya sudah, apes buat yang men-tackle. Hal ini jarang terjadi pada olahraga lain. Human error dari pengadil lapangan diminimalisir dengan penerapan teknologi yang tinggi. Sehingga, keputusan wasit seringkali menunggu data dari alat-alat canggih, baru kemudian keputusan diambil. Hal ini akan membuat olahraga dan kompetisi menjadi membosankan!!! Kesalahan dan kecurangan inilah yang membuat kita bisa merefleksikan sepakbola didalam kehidupan sehari-hari. Chelsea boleh ngamuk-ngamuk karena merasa dicurangi Pak Ovrebo. Tapi terbukti yang mengalahkannya bukan sembarang tim, tapi pemenang Liga Champion. Terbukti memang Barcelona pantas menang dari Chelsea.

Banyak teman-teman saya yang sangat menggemari sepakbola, memiliki tim-tim kesayangannya sendiri-sendiri, bahkan cenderung fanatik. Saya bukan termasuk orang-orang ini, meskipun terkadang iri karena orang-orang ini, begitu bicara tentang timnya dengan sesama fans, seperti berada di dunianya sendiri. Saya tidak punya tim kesayangan kecuali, tentunya, Timnas Merah Putih. Ada beberapa fenomena fanatisme yang menurut saya sedikit menganggu sportifitas sebagai nyawa dari setiap persaingan. Fenomena ini mungkin juga menghinggapi kita diluar konteks sepakbola. Fenomena tersebut adalah, “Saya akan mendukung tim mana pun yang sedang melawan tim yang mengalahkan tim kesayangan saya.” Misal, pendukung Arsenal mendukung Barcelona karena ingin melihat MU kalah, sebab MU-lah biang keladi runtuhnya mimpi Arsenal ke final. Menurut pendukung Arsenal, tidak pantas seandainya saya mendukung MU karena MU telah membuat saya sakit hati. Sakit hati saya akan terobati jika saya melihat MU kalah. Apalagi kalah mutlak. Lega rasanya… Hal ini pernah terjadi (mungkin pada diri kita juga) saat Final Piala AFC 2007. Sebagian besar pendukung Indonesia pasti tidak akan ragu lagi untuk menjagokan Iraq yang berkonfrontasi dengan Saudi di final, iya kan? Karena, Arab lah yang dianggap memupuskan harapan Indonesia untuk lolos babak penyisihan grup dengan gol sialan itu di akhir-akhir pertandingan. Padahal, itu bukanlah pertandingan yang menentukan, masih ada pertandingan melawan Korsel. Tapi secara Korsel dianggap jagoan di AFC, Timnas tidak berharap banyak dari partai itu. Aah, sungguh nikmat rasanya melihat Arab Saudi ditekuk oleh Younis Mahmud dkk di final. Rasain lu, ngalahin Indonesia sih…

worst-sport-environment-soccerNah, kalau menurut saya, ada kesalahan fatal pada logika itu. Dimananya? OK. Tim dukungan kita dikalahkan oleh lawan. Harapan kita pupus tandas. Kita sakit hati, berharap lawan yang mengalahkan tim kita itu tidak dapat pula melangkah lebih jauh, dengan kata lain, ada yang mengalahkan dia di langkah berikutnya. Jadi, dukungan kita akan ditempatkan lebih pada lawannya di tahap berikut. Ok, tim kesumat itu ada yang mengalahkan, dan kita syukuri itu.

Tapi sadarkah kawan, bahwa sekarang ada 2 (dua) tim yang lebih kuat dari tim kesayangan kita. Kita tidak bisa mengalahkan tim X, dan tim X itu tidak dapat mengalahkan tim Y. Nah, mungkinkah kita menganggap bahwa tim kita lebih kuat dari tim Y? Kebanyakan orang akan beranggapan bahwa itu belum bisa dipastikan, karena kita tidak pernah bertemu tim Y. Tapi sayangnya, ada logika matematika yang menyatakan bahwa jika I<X, dan X<Y, maka otomatis I<Y. Bayangkan, jika ternyata tim Y dikalahkan tim A, tim A kalah dari tim B, jadi sebenarnya minimal ada 4 tim yang jauh lebih kuat dari kita kan?

Tahukah kawan bahwa jika kita mengatakan kita mendukung tim Y karena kita sakit hati dengan tim X, itu akan membuat lingkaran logika diatas menjadi penuh. Jadi, agar tidak bisa dipastikan ada berapa tim yang lebih kuat dari tim kesayangan kita, berdoalah bahwa tim yang mengalahkan itulah yang menumbangkan lawan-lawannya di langkah berikutnya sehingga mencapai puncak. Logikanya hanya akan berhenti di I<X, karena yang terjadi berikutnya adalah Y<X, A<X dst. Tidak bisa dibandingkan dengan logika sederhana siapa yang lebih kuat antara I dengan Y jika tidak diadu

Memang logika ini amat sangat menyederhanakan kondisi real di lapangan. Vitalitas pemain, kondisi lapangan, wasit, dan banyak lagi faktor lain bisa jadi akan sangat menentukan hasil akhir, bukan hanya efektifitas strategi dan skill. Logika itu tidak berlaku saat Indonesia mampu mengalahkan Bahrain, Bahrain mengalahkan Korsel, tapi Indonesia kalah dari Korsel. Yang berlaku adalah “bola itu bundar.”

Tapi yang jadi masalah adalah, tanpa adanya logika seperti itu, akan sangat sulit untuk memperkuat mental sebagai orang yang dikalahkan. Karena, orang yang kalah cenderung terbagi ke 2 kutub, yaitu kutub Menyerah dan kutub Bangkit. Pembedanya hanya satu, yaitu motivasi. Semakin tipis motivasinya, orang yang kalah akan cenderung ke kutub Menyerah. Jika kita kalah, lalu melihat bahwa ada tim yang menundukkan tim yang menang dari kita, kita akan cukup puas dengan usaha dan hasil yang didapat selama ini. Kita hanya akan melihat sejauh tim yang mengalahkan kita. Jika kita melihat bahwa ada 2 atau 3 tim yang ternyata lebih kuat dari yang mengalahkan kita, kita akan terus berusaha sampai jarak antara tim kita dengan tim-tim yang kuat-kuat itu menghilang. Apa iya kita mau kalo sudah berlatih sampai muntah-muntah, lalu ternyata masih banyak yang bisa lebih kuat dari kita. Motivasi seperti inilah yang akan terus membuat kita tidak takut untuk kalah demi mengkoreksi diri untuk target yang lebih panjang dan usaha yang lebih keras


Responses

  1. bang, blog nya mila link yooo


Leave a comment

Categories